Jakarta, IDNPost.id – Tuntutan rakyat yang memuncak dalam aksi besar akhir Agustus 2025 mulai membuahkan hasil. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) resmi menetapkan enam poin keputusan yang menandai respon awal terhadap “17+8 Tuntutan Rakyat.” Salah satu keputusan paling mencolok: penghentian tunjangan perumahan bagi anggota DPR.
Langkah ini diumumkan Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad di Kompleks Parlemen, Jumat (5/9/2025), sehari setelah rapat konsultasi antara pimpinan DPR dan fraksi-fraksi digelar. Keputusan ini disebut sebagai titik balik penting dalam upaya memulihkan kepercayaan publik terhadap lembaga legislatif yang selama ini kerap diasosiasikan dengan privilese.
“Dalam konteks krisis kepercayaan, keputusan itu adalah gestur politik penting,” ujar Hairunnas, Pakar Ilmu Politik dari Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat, Sabtu (6/9/2025).
Enam Langkah Nyata dari DPR
Melalui rapat konsultasi, DPR menyepakati:
- Menghentikan tunjangan perumahan anggota DPR RI mulai 31 Agustus 2025.
- Moratorium kunjungan kerja ke luar negeri, kecuali untuk undangan kenegaraan, mulai 1 September 2025.
- Pemangkasan fasilitas anggota DPR mencakup biaya listrik, komunikasi, hingga transportasi.
- Pemutusan hak keuangan anggota DPR yang dinonaktifkan oleh partai politik.
- Koordinasi Mahkamah Kehormatan DPR dengan mahkamah partai untuk menindaklanjuti penonaktifan anggota.
- Peningkatan transparansi dan partisipasi publik dalam proses legislasi.
Keenam poin ini merupakan jawaban awal DPR terhadap desakan publik untuk melakukan reformasi menyeluruh. Namun, seperti disampaikan Hairunnas, ini baru langkah simbolik yang harus diikuti implementasi nyata.
“Respons simbolik tidak boleh menggeser fungsi utama legislatif. DPR tetap harus mengawal kebijakan, mengawasi Polri dan TNI, serta mendorong agenda reformasi ekonomi,” tegasnya.
Giliran Pemerintah dan Aparat Bertindak
Di tengah sorotan tajam terhadap elite politik, langkah DPR ini membuka tekanan baru kepada institusi lain: pemerintah, Polri, dan TNI. Hairunnas menilai, dalam sistem trias politika, tanggung jawab implementasi kebijakan berada di tangan eksekutif, bukan hanya legislatif.
“Bagaimana mungkin tuntutan publik sebesar ini hanya ditanggapi oleh satu kaki dari tiga pilar kekuasaan negara?” tanyanya retoris.
Masyarakat, menurutnya, menunggu langkah konkret dari Presiden Prabowo Subianto dan jajaran kementerian untuk menjawab sebagian besar dari 17+8 tuntutan yang mencakup sektor ekonomi, hukum, militer, dan penegakan hak asasi manusia.
Presiden Prabowo Tunjukkan Gestur Cepat
Presiden Prabowo dinilai mulai menunjukkan respons cepat. Kedatangannya ke rumah duka almarhum Affan Kurniawan—mahasiswa yang tewas dalam aksi damai—serta undangan dialog kepada mahasiswa ke Istana Negara menjadi simbol yang kuat.
“Dalam politik, simbol seperti itu penting karena menunjukkan kedekatan emosional pemimpin dengan rakyat. Tapi gestur tidak cukup. Tanpa implementasi, simpati bisa berubah jadi sinisme,” jelas Hairunnas, yang juga peneliti di Spektrum Politika Institute.
Bukan Titik Akhir, Tapi Titik Awal
Pertemuan mahasiswa dengan DPR pada 3 September, disusul dengan audiensi dengan Presiden pada 4 September, dianggap sebagai awal konsolidasi demokrasi yang lebih inklusif, bukan akhir dari gerakan rakyat.
Hairunnas menegaskan, seluruh elemen negara harus menjawab tantangan ini bersama. Jika dikerjakan dengan serius, 17 tuntutan mendesak bisa dituntaskan dalam waktu dekat, sementara 8 agenda reformasi jangka menengah dapat menjadi arah baru pembangunan demokrasi Indonesia.
“DPR sudah memulai dengan langkah positif. Presiden sudah menunjukkan respons cepat. Sekarang giliran TNI, Polri, dan kementerian teknis untuk menjawab aspirasi publik,” pungkasnya.