
IDN Post.id - DPR RI dan pemerintah bersepakat menambahkan aturan mengenai kompensasi atau ganti kerugian yang dapat ditanggung oleh negara, di dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP).
Namun, hal itu hanya akan ditanggung oleh negara apabila pelaku tindak pidana tidak mampu membayar ganti rugi kepada korban.
Wakil Menteri Hukum Edward Omar Sharif Hiariej menjelaskan, ketentuan ini merupakan substansi baru yang diusulkan pemerintah dan dimuat dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) 56 RUU KUHAP.
“Kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya kepada korban atau keluarganya,” ujar Edward dalam rapat Panitia Kerja (Panja) RUU KUHAP antara Komisi III bersama pemerintah di Gedung DPR RI, Jakarta, Kamis (10/7/2025).
Untuk diketahui, RUU KUHAP hanya memuat Pasal 36 dengan bunyi sebagai berikut:
“Restitusi adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku atau pihak ketiga berdasarkan penetapan atau putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, atas kerugian materiil dan/atau imateriel yang diderita korban atau ahli warisnya. ” Pemerintah kemudian menambah Pasal 36A dengan bunyi sebagai berikut:
Untuk diketahui, RUU KUHAP hanya memuat Pasal 36 dengan bunyi sebagai berikut:
“Restitusi adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku atau pihak ketiga berdasarkan penetapan atau putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, atas kerugian materiil dan/atau imateriel yang diderita korban atau ahli warisnya. ” Pemerintah kemudian menambah Pasal 36A dengan bunyi sebagai berikut:
“Kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya kepada korban atau keluarganya.
” Edward menuturkan, usulan ketentuan ini selaras dengan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang juga memuat tanggung jawab negara dalam pemulihan korban.
Dia juga menegaskan pengaturan ini penting sebagai bentuk keberpihakan pada korban, sekaligus memastikan kehadiran negara dalam penegakan hukum berkeadilan.
Dia juga menegaskan pengaturan ini penting sebagai bentuk keberpihakan pada korban, sekaligus memastikan kehadiran negara dalam penegakan hukum berkeadilan.
Sebab, negara memiliki tanggung jawab kepada korban, ketika pelaku tidak memiliki kemampuan ekonomi untuk memberikan restitusi.
“Jadi ketika korban itu memang, mohon maaf, pelakunya kemudian mungkin orang yang tidak mampu, tidak ada harta yang bisa disita, padahal korban ini harus direhabilitasi, siapa yang melakukan itu? Mau tidak mau adalah negara,” jelas Edward.
Setelah mendengar penjelasan dari pemerintah, Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman menyatakan bahwa seluruh fraksi menyetujui penambahan ketentuan tersebut.
“Setuju ya?” tanya Habiburokhman.
Peserta rapat pun langsung menjawab “setuju” sambil diikuti ketukan palu sidang sebagai tanda persetujuan.
Sebagai informasi, RUU KUHAP adalah salah satu prioritas legislasi DPR pada masa sidang ini, dan telah ditetapkan sebagai Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2025. DPR menargetkan pembahasan rampung sebelum 2026.